Jayabaya tentang
korupsi di Jawa/Nusantara
mbah subowo.
Sejak jaman Ajisaka (78 SM) yang secara tidak resmi mengakhiri pra-sejarah dan memasuki sejarah Nusantara, korupsi sudah terjadi. Dan tentu saja terutama dan paling utama dilakukan oleh para oknum penguasa yang memiliki kesempatan dan ada niatan untuk melakukan hal itu.
Korupsi ibarat bayang-bayang yang selalu hadir dan setia mengikuti semua penguasa publik di dunia ini. Ia menggoda siapapun yang tidak mampu bertahan dari keinginan memperkaya diri. Ibarat pedagang yang melakukan kecurangan mengeruk keuntungan terlalu banyak dari
modal jualannya yang kecil, misalnya seorang pedagang yang bermodal seribu
rupiah berusaha mendapat keuntungan secara tidak wajar besarnya sepuluh kali
lipat modalnya.
Begitu pulalah cara
seorang oknum pejabat yang memanfaatkan jabatannya antara lain hanya memberikan
semacam tanda persetujuan. Sudah menjadi rahasia umum, demi memuluskan atau melancarkan jalan usahanya para oknum pengusaha rela
memberi imbalan sejumlah uang atau barang berharga kepada para oknum penguasa atau oknum lainnya.
Berikut ini prediksi seorang nujum Nusantara yang hidup delapan abad yang silam dalam satu bait syairnya mengenai kelakuan oknum manusia yang berusaha memperkaya diri melalui cara yang tidak halal:
Berikut ini prediksi seorang nujum Nusantara yang hidup delapan abad yang silam dalam satu bait syairnya mengenai kelakuan oknum manusia yang berusaha memperkaya diri melalui cara yang tidak halal:
Akeh wong
nyambut gawe apik-apik padha krasa isin (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di jaman
terbolak-balik, akan ada oknum orang Jawa/Nusantara merasa malu mendapatkan penghasilan
yang sewajarnya dari pekerjaan swasta maupun suatu institusi negara.
Oknum-oknum tersebut
berani mencari keuntungan pribadi dengan mengambil risiko dengan
menyalahgunakan wewenang jabatan/kekuasaan demi yang namanya bisa hidup “wah”.
Bagi oknum tersebut
hidup cukup sesuai penghasilan sewajarnya tidaklah elok dan merasa memalukan.
Mereka memilih jalan pintas melakukan korupsi yakni memanfaatkan celah-celah
dalam wewenang jabatan untuk mendapatkan tambahan hasil secara curang agar bisa
menjadi lebih kaya.
Sekian untuk sekali
ini.