Melawan Orba dari Duren Tiga
Dari sebuah penerbit, ia jadi penentang paling
konsisten
terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru
Oleh MF Mukthi
Hari masih pagi. Hujan baru saja mengguyur Jalan Duren Tiga
Selatan. Lalu-Lintas belum begitu ramai. Suasana di sebuah rumah lawas bernomor
36 juga terasa sepi. Dua tukang bangunan sibuk merenovasi ruang tamu. Seorang
pembantu sibuk di dapur. Asni Joesoef Isak, pemilik rumah, dan anaknya,
Desantara Joesoef, kemudian keluar menuju ruang tengah.
Asni membeli rumah ini dari penduduk setempat pada 1976.
Bangunannya masih setengah jadi. Namun dia butuh tempat tinggal. Rumahnya di
Jalan Sisingamangaraja diambil paksa tentara. Dia pun membeli rumah itu. “Harga
rumah ini tujuh juta kalau nggak salah,” ujarnya kepada Historia.
Dengan bantuan kakak iparnya, Asni melanjutkan pembangunan
rumah itu. Beberapa material yang bisa diambil dari rumah di Sisingamangaraja
dipakai. Terutama teralis besi di jendela ruang makan. “Saya sayang betul
karena si bapak yang desain,” ujar Asni.
Sementara menunggu pembangunan selesai, mereka menumpang di
rumah familinya di Ciniru, Jakarta .
Begitu rampung, mereka pindah. Rumah itu terasa lengkap.
****
Hasjim terus putar otak. Beberapa harta bendanya dia lego
demi membiayai Hasta Mitra meski akhirnya satu per satu karyawan dirumahkan.
Pada 1985, Hasta Mitra menerbitkan Jejak
Langkah dan Sang Pemula. Sekali
lagi Kejaksaan melarang peredaran karya-karya itu. Hasta Mitra menahan diri untuk menerbitkan karya
Pram lainnya. Mereka hanya menerbitkan karya-karya lama seperti Hikayat Siti Mariah dan Cerita dari Blora. Toh, tetap saja
dilarang.
Pada Agustus 1988, ujar Subowo, karyawan Hasta Mitra sejak
April 1980 sekaligus anak angkat Joesoef. Joesoef beli Macintosh agar proses
layout bisa dilakukan hingga siap dikirim ke percetakan secara diam-diam. Sejak
itu pula, tak seorang pun diizinkan masuk ke ruang redaksi Hasta Mitra kecuali
karyawan. “Bahkan keberadaan ruang redaksi Hasta Mitra itu sendiri dirahasiakan
sama sekali dari pihak manapun, termasuk Pramoedya dan Hasjim Rachman sendiri.”
Makanya, ketika Rumah Kaca terbit dan dilarang pada Juni 1988 lalu Joesoef
dibawa Kejaksaan, ruang dan Macintosh tetap aman dari sitaan.
Tekanan bukan hanya diberikan kepada Hasta Mitra, Pemerintah
juga menangkap tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Bonar Tigor Naipospos,
Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, yang membaca dan mendistribusikan
karya-karya Pram.
Sejak Mei 1998, keadaannya berubah. Hampir tiap hari,
menurut Subowo, ada tamu di ruang redaksi Hasta Mitra. Awalnya wartawan atau
kawan Joesoef dari luar negeri, belakangan menyusul dari dalam negeri. Dari
aktivis hingga mahasiswa. Dari Kolonel A. Latief hingga anak-anak muda dari
Partai Rakyat Demokratik.
“Joesoef dianggap oleh para tamu atau siapapun dapat
menerangkan semua persoalan (politik) menjadi jelas, gamblang, dan mudah
dicerna,” ujar Subowo.
Hingga di masa pengujung, ketika Hasta Mitra tinggal
digawangi Joesoef dan Subowo, orang-orang yang bertamu ke rumah Joesoef tetap
ramai. Singkat kata, dari rumah No. 36, semangat perlawanan terus hadir.
Setidaknya Hasta Mitra sudah menerbitkan 90-an judul buku. Tak semuanya karya
Pram. Tapi umumnya bertema sejarah. Kekuasaan yang dilawannya akhirnya runtuh.
Pada Mei 1998, Soeharto jatuh.
Joesoef sendiri tak bisa melawan usia. Dini hari 15 Agustus
2009 dia menghembuskan nafas terakhir. Bersamaan dengan kepergiannya, Hasta
Mitra kehilangan nahkoda – dua pendiri Hasta Mitra lainnya, Hasjim Rachman dan
Pram sudah lebih dulu meninggal. Meski tak ada pembubaran resmi, orang-orang
yang pernah ikut menjalankan Hasta Mitra memilih jalan masing-masing. Dan, “markas”
pertama perlawanan Orde Baru itu kini kembali sepi.
*******
Daftar Kepustakaan
2013 Nomor 13,
Tahun II, halaman 36 dan 38.