LIHAT KE BELAKANG DENGAN PANDANGAN
JERNIH dan JANGAN MELIHAT KE DEPAN DENGAN
MATA BUTA
Pertama-tama
perkenalkan saya mengucapkan terima kasih atas undangan yang disampaikan kepada
saya, untuk ikut ambil bagian dalam Seminar yang semarak ini.
Undangan datang dari teman-teman di
Tanah Minahasa yang alamnya cantik, dihiasi danau dan gunung-gunung hijau yang
menyebarkan udara sejuk, Bunaken dengan terumbu karangnya yang masjhur di
dunia, nyiur melambainya yang ditiup angin berdesir, aroma vanili dan
cengkehnya yang harum, serta tanahnya yang subur membawa kemakmuran bagi
rakyatnya. Kata pujangga, kepulauan Nusantara yang terdiri dari 17.508 pulaunya
besar dan kecil, adalah hamparan zamrud di Khatulistiwa. Tapi saya ingin
mengatakan juga dengan menirukan ucapan seorang Ibu Kawanua kepada saya :
Minahasa adalah penggalan sorga yang ditempatkan di bumi.
Negeri ini adalah juga negerinya
Pahlawan Nasioal Perintis Kemerdekaan, Dr Sam Ratulangi, yang cita-citanya
setinggi gunung Kalabat. Beliau terkenal dengan katakanya yang sering dikutip
Bung Karno : “Maksud hati mencapai puncak gunung Kalabat, apa daya kaki membawa
hanya sampai Air Madidi”. Tetapi Bung Karno menganjurkan kepada para pemuda
supaya meraih yang lebih tinggi. Katanya : “Gantungkan cita-citamu
dibintang-bintang tinggi dilangit”.
Disamping itu, saya juga ingin berbagi
rasa dan pengalaman dengan teman-teman disini yang pernah senasib dengan saya,
yaitu nasib malang yang menimpa
kita 35 tahun yang lalu. Saya di Jawa dan saudara-saudara disini, nasib kita
sama.
Topik yang diminta oleh Panitia Seminar
kepada saya supaya dibahas disini, meyangkut pesan Bung karno dalam Pidato
Kenegaraan 17 Agustus 1966 “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, kaitannya
dengan kejadian yang sudah bernilai klasik, karena sudah lewat 35 tahun : G30S,
yang sampai sekarang belum juga tuntas dibahas. Aneh tapi nyata.
Menurut pendapat saya, G30S bukan
kejadian yang berdiri sendiri. Ia diciptakan oleh syarat-syarat sejarah yang
ada, yaitu pertentangan antara rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno
yang sedang berjuang mengkonsolidasi kemerdekaan, melawan kekuatan asing,
terutama Amerika dan Inggeris yang ingin mengendalikan Indonesia dengan
menggunakan tenaga orang-orang Indonesia sendiri. Waktu itu kita sedang berada
dalam pusaran Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur, di mana Indonesia
menjadi rebutan mereka untuk menguasai sumber alamnya yang melimpah ruah. Oleh
karena itu, memisahkan peristiwa G30S dari konteks Perang dingin, adalah
a-historis. Dalam pertarungan itu, Amerika dan Inggeris menang, dan Bung Karno
yang mengibarkan panji Trisakti : Berdaulat di bidang politik, berdikari di
bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, digilas dalam liku-liku
G30S yang berakibat di gulingkannya Bung Karno dan terjadinya HOLOCAUST, yaitu
pemusnahan 3 juta ummat manusia, yang sampai sekarang sepertinya diterima
sebagai kebenaran. Kita yang pernah ditahan, adalah sisa-sisa dari 3 juta
teman-teman kita yang telah dimusnahkan, dengan sebuah dekrit pemusnahan
manusia yang terbesar dalam sejarah, yang pernah dicatat. Cerita yang
mengerikan ini, membuat setiap orang yang punya hati dan nurani, berdiri bulu
kuduknya membayangkan tragedi yang terjadi abad peradaban modern. Angka 3 juta
yang saya sebutkan diatas, adalah kesaksian yang diberikan oleh Jenderal Sarwo
Edhie Wibowo, yang disampaikan kepada salah seorang pendiri “Pakorba”, Bapak
Permadi, SH, sekarang anggota MPR/ DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan yang memang
sengaja mengkonfirmasikan angka korban yang bersimpang-siur Bapak Permadi SH,
sendiri meragukan apakah jumlah itu tidak kebanyakan, tapi dijawab dengan tegas
oleh Sarwo Dedhie : Tidak ! Memang angka 3 juta itulah yang benar. Angka ini
tentu jadi menarik, karena diucapkan oleh seorang Jenderal yang dikenal sejak
awal sebagai komando pembasmian G30S. Angka korban yang dipublikasikan oleh
Panitia Amnesti International dan “Tapol” Indonesia Human Rights Campaign, yang
dua-duanya berpusat di London ,
masing-masing menyebutkan angka 1 juta. Begitu juga Presiden Abdurrahman Wahid
menyebut angka 1 juta itu. Ratnasari Dewi, isteri Bung Karno orang Jepang,
mengumumkan angka 2 juta. Tapi rasanya bagaimana pun, 1 juta, 2 juta atau 3
juta, sama mengerikannya.
Dalam sebuah naskah fotocopy dari Dr.
Subandrio setebal 150 halaman tertanggal awal September 2000, yang beredar di
Jakarta, Dr. Subandrio, mantan kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), Wakil PM-I
dan Menteri Luar Negeri RI, yang sebetulnya divonis mati oleh MAHMILLUB, tapi
kemudian mendapat grasi dari Presiden Soeharto, membongkar siapa dalang G30S
yang sebenarnya, yang tidak lain dari Soeharto sendiri. Padalah yang difahami
sampai sekarang, dalang itu ialah PKI, termasuk juga Dr. Subandrio. Dr.
Subandrio dalam pengungkapannya menjungkir-balikkan pemahaman itu. Skenario
G30S bukan dibuat oleh PKI, melainkan oleh Soeharto, katanya. Dr. Subandrio
mengatakan, kol A. Latief dan Letkol. Untung Samsuri yang memimpin G30S, adalah
alatnya Soeharto, dan kedua-duanya merundingkan dengan Soeharto persiapan
gerakan dan sepenuhnya didukung, bahkan Soeharto memperbantu kan 3 batalion
tentara dari Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi dan masing-masing membawa
peluru garis 1 (cukup untuk pertempuran 10 hari). Dr. Subandrio mengatakan,
bahwa Soeharto adalah Jenderal Fasis yang berdarah dingin, yang mengeksploitasi
G30S untuk ambisi kekuasannya.
Keterlibatan
Soeharto mulai
dari
prolog sampai epilognya
Rencana
besar Soeharto sudah bergulir sejak awal Februari 1965, kata Subandrio. Jika
keterangan Dr. subandrio benar, tentulah TAP MPERS no. : XXXIII/ 1967 yang menggulingkan
Bung Karno dari kekuasaanya untuk digantikan oleh Jenderal Soeharto yang nota
bene adalah artsitek G30S, haruslah segera dicabut dan Bung Karno
direhabilitasi. Dan untuk selanjutnya, sejarah G30S perlu ditulis kembali.
Namun cukup menarik pengakuan Sekretais
Jenderal PKI, Sudisman, yang diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa
(MAHMILLUB) setelah ia ditangkap pada 6 Desember 1966, mengakui keterlibatan
tokoh-tokoh PKI tertentu dalam G30S, termasuk dirinya, tapi PKI sebagai partai,
katanya tidak terlibat, karena rencana itu tidak pernah dibicarakan dalam rapat
CC PKI. Tokoh-tokoh PKI tertentu itu menyetujui keputusan kelompok perwira muda
hendak mendahului tindakan Dewan Jenderal yang akan melancarkan coup d’etat
terhadap Presiden Soekarno yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 5
Oktober 1965. Adanya Dewan Jenderal, Kata Sudisman, diumumkan sendiri oleh
Jenderal Yani pada tanggal 27 atau 28 Mei 1965 didepan rapat Panglima Angkatan
Darat, dan Yani sendiri yang membentuk Notulen rapat itu perlu dicari, kata
Sudisman. (Baca : “Pleidoi Sudisman, Kritik Oto Kritik”, diterbitkan Teplok
Press Jakarta, November 2000). Pengakuan Sudisman itu membenarkan penilaian
Bung Karno dalam Nawaksara bahwa salah satu faktor terjadinya G30S, karena
keblingernya tokoh-tokoh PKI.
Bung Karno mengatakan ada 3 faktor yang
menyebabkan terjadinya G30S :
1. Lihainya kaum imperialis/
Nekolim
2. Keblingernya tokoh-tokoh PKI
3. Adanya ketidakberesan dalam
tubuh kita sendiri.
Bertrand Russel, seorang pakar sejarah
bangsa Inggris mengatakan, dalam 4 bulan saja pembantaian di Indonesia, orang
yang tewas 5 kali lebih banyak dibandingkan korban 12 tahun perang Vietnam yang
diserang oleh Amerika dengan meggunakan bom-bom napalm, roket dan bom-bom
pemusnah lainnya yang menyebarkan racuk kematian, senjata sinar yang bukan saja
membunuh manusia tapi semua yang hidup. Laporan lain lagi mengatakan, korban
300 tahun dijajah Belanda, 3,5 tahun masa pendudukan fasis Jepang, ditambah 4
tahun perang kemerdekaan, jumlah korban seluruhnya tidak sebanyak korban
peristiwa G30S, meskipun peristiwa itu terjadi dibawah syarat-syarat keadaan
damai, dimana Republik Indonesia tidak dalam keadaan berperang dengan siapapun.
Saya lalu teringat kisah HOLOCAUST (pemusnahan ummat manusia) yang didahului
dengan pengejaran-pengejaran dan penangkapan-penangkapan oleh Nazi Jerman
menjelang Perang dunia II di Eropa, seperti diceritakan oleh seorang pendeta
Jerman bernama Martin Niemoller. Pedeta ini sangat anti Hitler dan faham
nasional-sosialismenya.
Niemoller
bercerita sebagai berikut :
Pertama
agen-agen Hitler datang mencari orang-orang komunis, saya tidak bilang apa-apa,
karena saya bukan komunis. Ketika mereka datang menangkap orang-orang Yahudi,
saya tidak protes, karena saya bukan Yahudi. Ketika mereka datang untuk
menangkap buruh, saya tutup mulut, karena saya bukan anggota Serikat Buruh.
Ketika mereka menangkap orang-orang Katolik, saya bungkem, karena saya
Protestan. Akhirnya mereka datang untuk menangkap saya, ketika itu tidak
seorang pun lagi yang tinggal, yang bisa berbicara membela saya, semua sudah
ditangkap, tapi saya beruntung tidak dibunuh.
Holokaus atau pemusnahan manusia yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1965/ 1966, cara-caranya meniru pola Hitler
seperti yang diceritakan oleh Pendeta Martin Niemoller. Kejar, tangkap lalu musnahkan.
Masih beruntung kita yang tidak sempat dimusnahkan, hanya dimasukkan kamp
konsenterasi. Orang-orang yang tidak jelas dosanya, atau mungkin malah tidak
berdosa sama sekali, dimasukkan tahanan, mencapai angka 750.000 menurut
pengakuan Orde Baru, tapi yang sebenarnya lebih banyak lagi. Presiden Amerikat
Serikat, Jimmy Carter, menolong kita dengan mengancam Soeharto supaya semua
tahanan segera dibebaskan, karena penahanan mereka melanggar Hak-hak Asasi
Manusia. Kalau tidak diindahkan, bantuan untuk Indonesia
akan distop. Soeharto ketakutan dan kitapun dibebaskan, meskipun di alam bebas
hak-hak asasi kita masih dirampas lagi.
Di Eropa, begitu Perang Dunia II
berakhir, para pelaku yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap
kemanusiaan, seperti Himmler dan Goring, setelah diadili oleh tribunal
Kejahatan Perang Internasional, semuanya dihukum mati. Tapi holokaus di Indonesia ,
meskipun sudah lewat 35 tahun, penanggung jawab dan pelakunya tidak di
apa-apakan bahkan dinobatkan menjadi orang-orang bermartabat dan berderajat
mulia. Tidak ada undang-undang yang bisa menuntut mereka. Undang-undang HAM
yang baru saja disyahkan oleh DPR, masih sangat diragukan apakah mungkin
undangan tersebut diberlakukan, dengan mengingat amandemen UUD 1945 pasal 28-1,
yang menutup peluang diberlakukannya asas surut.
Tapi tidak baik jika tragedi ini
ditangisi terus. Kisah tragedi itu memang sangat menyakitkan, dan sangat layak
dituntut pertanggung jawabannya. Ya ….. perlu ada afrekening, kata orang
Belanda. Tapi kalau tragedi ini terus menerus kita tangisi, hati kita sedih
saja, pastilah kita tidak bisa lagi memecahkan soal-soal. Oleh karena itu, kita
harus pandai mencari jalan untuk memahaminya dari segi yang masuk akal. Saya
lalu teringat akan kata-kata seorang filosof India ,
Rabindranath Tagore, yang mengatakan : janganlah sekali-kali menghina daun-daun
yang berguguran mengotori taman pohon itu tumbuh. Daun-daun yang berguguran
itu, adalah daun-daun mulia yang menjadi pupuk bagi kehidupan pohon itu
selanjutnya, serta generasinya.”
Mungkinkah kita menjadi pupuk bagi
lahirnya Indonesia Baru yang lebih baik ?
Barangkali ada diatara kita yang belum
dengar bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 14 Maret 2000, mengucapkan
pernyataan bersejarah. Beliau secara terbuka minta maaf kepada keluarga para
korban tahanan, atas korban besar-besaran 1965/ 1966. Bukankah ini satu
perubahan pandangan resmi yang penting berkenaan dengan kasus G30S ? Bahkan Gus
Dur memberikan dukungan usaha penyelidikan pembantaian yang dilakukan oleh
kelompok manapun. Pembantaian itu tentu saja terjadi atas perintah Jenderal
Soeharto. Kekejamannya inilah yang telah membawanya berkuasa 3 tahun, serta
menjalankan kekuasaannya dengan tangan besi, dan merebut kekuasaan negara dari
tangan Presiden konsitusinoal, Sukarno, lewat apa yang dikenal dengan
SUPERSEMAR yang penandatangannaya dipaksakan oleh 3 Jenderal. Tentu saja
kelompok komunisto phobia yang ketakutan, tidak gembira dengan sikap Gus Dur
tersebut, dan menentang dengan keras penyelidikan holokaus 1965/ 1966. Memang
sudah sulit bagi kita mengharapkan Soeharto bisa menjawab pertanyaan
dengasn cara bagaimana ia memeritahkan pembantaian besar-besaran, dan dengan
cara bagaimana pula ia merebut kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno,
mengingat kesehatan otaknya menurut keterangan dokter pribadinya, sudah
mengalami kerusakan permanen, artinya tidak bisa sembuh lagi. Saya kutipkan
kesaksian Kol. A Latief, mantan Komandan Brigif I Kodam V/ Jaya, yang pernah
kumpul 1 blok dengan saya di Salemba dalam blok isolasi selama 4 tahun, ia
mengatakan bahwa Jenderal Soeharto kakinya ada di dua perahu, yaitu perahu
Dewan Jenderal dan perahu G30S.
Tiga hari sebelum gerakan dimuali,
Latief melapor kepada Soeharto mengenai rencana gerakan, bahkan yang terakhir
hanya 4 jam sebelum gerakan dimulai. Kalau Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD
tidak setuju gerakan itu, tentu sudah dicegahnya, karena ia punya pasukan cukup
untuk memukul. Tapi nyatanya, ia tidak bertindak apa-apa. Artinya, Soeharto
mempunyai kepentingan G30S dari Soeharto, tapi bagi Soeharto sebagai pijakan
melaksanakan grand strateginya setelah KSAD Letjen A. Yani yang rivalnya
diculik dan dibunuh oleh G30S.
1 Oktober 1965 pagi, segera setelah
meletusnya G30s yang 4 jam sebelumnya sudah disampaikan oleh Kol. Latief kepada
Mayor Jenderal Soeharto yang waktu itu Panglima KOSTRAD, Soeharto langsung
mengambil alih sendiri pimpinan Angkatan Darat setelah mengetahui Paglima
Agnaktan Darat Letnan
Jenderal A. Yani diculik
dan dibunuh oleh G30S. Soeharto sama sekali tidak berusaha mencari Presiden/
Panglima Tertinggi untuk melaporkan kejadian ini, malahan ia bertindak sendiri
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Padahal Presiden pada tanggal 1 Oktober
itu sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, setelah mengetayui kejadian
yang sama yang dilaporkan oleh pihak G30S kepadanya, segera mengumumkan
mengambil alih untuk sementara pimpinan AD dan menunjuk Mayor Jenderal Pranoto
Reksosamudra sebagai care-taker Panglima AD. Ini adalah tindakan insubordinasi
awal yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Panglima Tertingginya. Atas tindakan
insubordinasi ini. Presiden/ Panglima Teringgi tidak memberikan sanksi apa-apa
kepada Soeharto, bahkan menugasinya untuk menanggulangi pemulihan keamanan dan
ketertiban yang terganggu oleh adanya G30S. sementara tanggal 1 Oktober pagi
itu juga, setelah Presiden menerima laporan dari Brigadir Jenderal Suparjo,
komandan sayap militer G30S, tentang tindakan yang telah diambilnya yaitu
menangkap para Jenderal yang dituduhnya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup
terhadap Presiden Soekarno, dan melaporkan juga tewasnya Jenderal Yani dalam
penangkapan itu, Presiden langsung memerintahkan supaya semua operasi militer
dihentikan, yang langsung ditaati.
Pasukan G30S seluruhnya ditarik dari
pos-pos yang sudah ditempatinya. Untung meninggalkan Jakarta ke Jawa Tengah dan Latief mundur
kepinggiran Jakarta . semua
kegiatan dihentikan, yang berarti hancurnya G30S, yang beroperasi tidak lebih
dari sehari. Jadi, yang menghancurkan G30S sejak awalnya, bukanlah Soeharto (karena
memang pasukannya sendiri), melainkan Presiden Soekarno. Soeharto hanya
menindak lanjuti dengan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang
komunis dan yang dituduh komunis, dan membunuh 3 juta orang seperti yang diakui
oleh Sarwo Edhie, komandan RPKAD (sekarang : KOPASUS).
Untuk melaksanakan tugas pemulihan
keamanan dan ketertiban yang ditugasi Presiden kepada Soeharto, dibentuklah apa
yang dinamakan “Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dari
Pusat sampai ketingkat KODAM, dengan segala lembaganya antara lain Team
Pemeriksa dan Daerah. Lembaga Kompkamtib dan alat-alat pendukungnya, itulah
yang bergerak menyandang kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Tapi setelah 6 bulan, ternyata Kopkamtib tidak menjalankan tugasnya memulihkan
keamanan dan ketertiban, bahkan ketegangan meluas sampai ke daerah-daerah di
mana terjadi pembunuhan besar besaran. Demonstrasi oleh berbagai Kesatuan Aksi
makin menjadi-jadi di bawah lindungan AD, dengan mendiskreditkan Kepala Negara.
Tapi menurut Dr. Subandrio, sebetulnya sejak tanggal 2 Oktober 1965, Soeharto
dengan didampingi Yoga Sugama dan anggota-anggota kelompok bayangannya di
Kostrad, mendatangi Bung karno di Istana Bogor .
Soeharto dan rombongan yang berseragam doreng dan bersenjata, masuk Istana.
Dalam keadaan biasa, masuk Istana tidak boleh membawa senjata. Disitu Soeharto
menolak pengangkatan Pranoto menjadi Care-Taker KSAD, sambil menekan Presiden
supaya memberikan Surat Kuasa kepadanya untuk tugas memulihkan keamanan.
Dikemudian hari surat kuasa itu tidak
diakui suharto, sehingga tidakpernah dicatat dalam sejarah orba. Sebelum
meninggalkan Istana, Soeharto minta kepada Presiden supaya jangan meninggalkan
Istana Bogor dengan alasan keamanan. Sejak itu hakekatnya Presiden sudah
ditahan oleh Soeharto.
Esoknya, Wakil PM-II Dr. J. Leimena
mendatangi Soeharto di Kostrad, mengingatkan supaya jangan bersikap keras
terhadap Bung Karno. Soeharto menjawab supaya Pak Leimena mengurus urusannya
sendiri saja. “Saya yang kuasa sekarang”, kata Soeharto. Wkail PM-III Dr.
Chaerul Saleh yang datang berikutnya untuk maksud yang sama, dijawab oleh
Soeharto : “Pak Chaerul jangan ikut campur”, Pak Chaerul kemudian ditahan dan
meninggal di tahanan.
Puncak kerusuhan yang sengaja
diciptakan, ialah pada 11 Maret 1966, di aman sidang Kabinet sedang berlangsung
dengan tiba-tiba Istana dikepung tentara. Tentara itu mengganti pakaian
seragamnya dengan pakaian mahasiswa atau pakaian rakyat kebanyakan. Penagngung
jawab keamanan Istana menghawatirkan adanya usaha hendak menangkap Bung Karno
bersama menteri-menterinya. Dalam sidang Kabinet ini, satu-satunya Menteri yang
tidak hadir hanyalah Menteri/ Panglima AD Mayor Jenderal Soeharto, yang katanya
sedang sakit pilek. Oleh adanya kekhawatiran ini, ajudan Presiden memberikan
sebuah memo kepada Presiden yang segera menghentikan sidang menyerahkan kepada
Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena untuk melanjutkannya. Bung Karno sendiri
dengan diikuti Wakil Perdana Menteri I/ Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dan
Wakil Perdana Menteri III Dr. Chairul Saleh meninggalkan Istana menuju
helikopter yang tersedia di depan Istana dan terus menyingkir ke Istana Bogor.
Belakangan di ketahui bahwwa tentara yang mengepung Istana ditugaskan oleh
Soeharto untuk menangkap Dr. Subandrio. Setelah Bung karno meninggalkan Sidang
Kabinet, siang itu juga 3 orang Jenderal yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat,
Mayor Jenderal Andi Yususf dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud diutus oleh Soeharto
yang sedang sakit pilek menyususl Presiden ke Bogor untuk basa-basinya
menyampaikan permintaan maaf karena adanya pengepungan Istana. Api tugas pokok
dari missi ini ialah minta kepada Presiden supaya memberikan Surat Perintah 11
Maret yang dikenal dengan SUPERSEMAR, isinya sudah dirumuskan oleh Soeharto
bersama 3 Jenderal dirumahnya, sebelum missi berangkat ke Bogor. Semuanya
harus dipaksakan supaya ditandatangani oleh Presiden. Adapun isi kongkritnya
ialah supaya Presiden memerintahkan kepada Menteri/ Panglima Angkatan Darat
Letnan Jenderal Soeharto mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk
menjamin keamanan dan ketenangan. Tapi isi SUPERSEMAR setelah terjadi tawar
menawar yang alot seharian, diperluas dengan menjamin stabilitas jalannya pemerintahan
dan revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan
Presiden/ Pangti/ PBR/ Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara
RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR. Menurut keterangan Ibu
Hartini seperti yang diceritakan Bung karno kepadanya, peristiwa
penandatanganan dokumen tersebut, dilangsungkan di pavilyun Istana Bogor yang
menjadi tempat kediaman Ibu Hartini, semuanya berjalan alot dan penuh
ketegangan karena para Jenderal memaksakan konsep mereka seperti yang
dirumuskan oleh Soeharto. Ketiga Wakil Perdana Menteri yang juga hadir, satu
persatu diminta pendapatnya oleh Bung Karno sebelum mendatangani naskah
tersebut.
1. Pertama yang ditanyai
ialah Dr. Leimena yang menjawab dengan “No Comment”, ik laat het helemaal aan u
over.
2. Chairul Saleh yang
ditanya berikutnya menjawab : “Best is dat u zich tot God wendt, bid om Zijn
goede raad.” (Sebaiknya Bapak menghadap Tuhan, mohon petunjukNya yang baik).
3. Terakhir Dr. Subandrio
menyatakan pendapatnya : Als u deze verklaring (Ibu Hartini mengatakan “brief”)
tekent dan valt u in a trap. Maksudnya, jika surat
ini ditanda tangani, Bapak akan masuk perangkap.
Betul
apa yang dikatakan oleh subandrio. Soeharto menganggap SUPERSEMAR memberikan
landasan kekuasaan yang dapat digunakannya untuk mengkonsolidasi situasi pada
saat itu yang menguntungkan baginya. Maka pada tengah malam tanggal 11 Maret
setelah para Jenderal utusannya menyerahkan Surat Perintah itu kepadanya di
Kostrad, ia langsung membuat Surat Keputusan a.n. Presiden yang disebutnya
Surat Keputusan Presiden tanggal 12 Maret 1966 yag ditandatanganinya sendiri
sebagai pengemban SUPERSEMAR a.n. Presiden tentang pembubaran PKI termasuk
semua organisasi yang berazas/ berlindung dan beranaung di bawah PKI, dari
tingkat pusat sampai daerah. Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Soeharto
itu, tentu saja bertentangan dengan kebijaksanaan politik Presiden Soekarno,
karenanya tidak bisa digunakan untuk mengambil kebijaksanaan politik yang
berdampak luas dan dalam luas dan dalam, seperti yang dilakukan Soeharto.
SUPERSEMAR hanya memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam bidang teknis pengamanan dan
penerbitan, bukan dalam bidang kebijaksanaan politik. Oleh karena itu
tanggal 13 Maret 1966, Presiden mengirimkan surat teguran kepadanya, karena tindakannya
sudah Presiden mengirimkan surat
teguran kepadanya, karena tindakannya sudah melampaui wewenang yang diberikan
kepadanya. Surat teguran itu
dibawa oleh Wakil PM II Dr. Leimena, dikawal oleh Brigjen Hartono, Komandan KKO
(Marinir) Angkatan Laut.
Jawaban Soeharto yang diberikannya
secara lisan kepada Wakil PM II dan minta disampaikan kepada Bung Karno, bahwa
tindakan tersebut menjadi tanggung jawabnya sendiri secara pribadi. Karena
teguran pertama tidak diindahkan, maka disusul lagi dengan terguran kedua
tanggal 14 Maret 1966 yang juga tidak diperdulikan oleh Soeharto. Malah pada
tanggal 18 Maret 1966, dengan meng-atas-namakan Presiden/ Pangti? Mandataris
MPRS? PBR dikeluarkan apa yang disebutnya sebagai “Pengumuman Presiden” no. 5
yang ditandatanganinya sendiri, mengenai tindakan pengamanan terhadap 15
Menteri, yaitu :
1. Dr. Subandrio
2. Dr. Cairul Saleh
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo
4. Ir. Setiadi Reksoprodjo
5. Soemarjo
6. Ir. Sarachman (orangnya kabur
tidak tertangkap)
7. Dr. Jusuf Muda Dalam
8. Armunanto
9. Sutomo Martopradoto
10.
Astrawinata, SH
11.
May. Jen. TNI Achmadi
12.
Drs. Moch Achadi
13.
Let. Kol. Inf. Imam Syafi-ie
14.
J. Tumakaka
15.
May. Jen. TNI Dr.
Sumarno.
Tindakan ini diambil dengan alasan
untuk pengamanan penyelenggaraan pemerintahan, serta terjaminnya keamanan,
ketenangan, kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi, terjaminnya
keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/
Mandataris MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi dan untuk keutuhan bangsa dan Negara
RI, dengan maksud agar supaya menteri-menteri tersebut jangan sampai menjadi
korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali dan jangan pula tuntutan
rakyat itu terlepas dari itikad baiknya. dalam pengumuman itu ditegaskan bahwa
menteri-menteri hanya pembantu belaka dari Presiden dan tidak merupakan bentuk
kolektif pemerintahan, karena pemerintah berdasarkan pasal 4 UUD 1945, hanya
berada ditangan Presiden. Tafsiran ini memuakkan karena dimaksudkan hanya akan
membuka jalan kearah coup d’etat, karena 15 Menteri pembantu Presiden disapu
bersih tanpa pengetahuan apalagi persetujuan Presiden. Disini jelas bahwa
SUPERSEMAR dilaksanakan bukan untuk menjamin pengamanan penyelengaraan
pemerintahan, tapi untuk melemahkan pimpinan Presiden, karena pembantu-pembantu
utamanya disikat habis.
Disamping itu masih ada 3 menteri yang
lain, tokoh-tokoh PKI yaitu Aidit, Lukman (kedua-duanya Menteri Koordinator)
dan Nyoto (Menteri Negara) bukan saja ditangkap tapi dibunuh tanpa proses
pengadilan. Seorang lagi yang lain ialah Omar Dhani, Menteri/ Panglima Angkatan
Udara ditangkap dan dihukum mati, tapi kemudian mendapat grasi dan sekarang
bebas juga Jusuf Muda Dalam, Menteri Bank Sentral dihukum mati. Dengan menyapu
bersih 19 Menteri dan hanya Omar Dhani dan Menteri Negara, Oei Tjoe Tat dan
Jusuf Muda dalam yang diproses secara hukum, tanpa persetujuan Presiden,
bukankah itu satu tindakan coup d’etat?
Layaklah diajukan pertanyaan : Apakah
dengan menagkap 19 menteri tanpa pengetahuan dan persetujuan Presiden, bukan
tindakan coup d’etat ? Karena khawatir Presiden akan menarik kemabali
SUPERSEMAR karena pelaksanaannya sudah diselewengkan dan tidak pernah
dilaporkan kepada Presiden, maka soeharto minta kepada MPRS yang bersidang dari
tanggal 20 Juni s/d Juli 1966 supaya mengambil keputusan yang memperkuat
kebijaksanaan Presiden yang tertuang dalam SUPERSEMAR (TAP no. IX/ MPRS/ 1966
tertanggal 21 Juni) dengan meningkatkannya menjadi TAP MPRS, secara
konstitusional Presiden tidak bisa mencabutnya, karena pencabutan dianggap
pengingkaran terahdap TAP MPRS.
Sepintas lalu, rekayasa politik ini
dengan menggunakan sarana hukum, khususnya hukum konstitusi, memang hebat. Tapi
coba teliti dengan seksama makna TAP MPRS no. IX, akan segera terlihat
bahwa menyimpang dari inti pokok SUPERSEMAR yang berbunyi sebagai berikut (saya
kutip) :
1. Mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pimpinan Besar Revolusi/
Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pimpinan Besar Revolusi.
2. Mengadakan
Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima Angkatan lain
sebaik-baiknya.
3. Supaya
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung
jawabnya seperti tersebut diatas.
Sekarang saya persilahkan membandingkan
dan meneliti sesudah SUPERSEMAR itu menjadi TAP MPRS no. IX, saya kutip
selengkapnya.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik
Indonesia
No. IX/ MPRS/ 1966
Tentang
Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara
Republik
Indonesia
Menimbang
a.
Bahwa Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
tanggal 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal SOEHARTO, Menteri/ Panglima
Angkatan Darat, Merupakan suatu upaya khusus untuk mengatasi ancaman
bahaya terhadap keselamatan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi,
kewibawaan Pimpinan Revolusi serta terhadap keutuhan Bangsa dan Negara;
b.
Bahwa upaya khusus tersebut diterima secara positif oleh Rakyat, karena
mencerminkan rasa keadilan menurut suara hati nuraninya dan telah terbukti
bermanfaat dalam rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat;
c.
Bahwa upaya khusus itu, yang telah diterima pula oleh dewan Perwakilan Rakyat
Gotong royong secara bulat, adalah sesuai dengan hukum dasar yang dimaksudkan
oleh Undang-undang Dasar 1945 dan kegunaannya untuk pengamanan kebijaksanaan
pengembalian kepada pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 secara murni;
d.
Bahwa untuk kepentingan usaha penyempurnaan lembaga-lembaga/ aparatur negara
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, Surat
Perintah tersebut masih perlu diperlakukan.
Mengingat
:
Pasal
I ayat (2) dan Pasal 2f ayat (3) Undang-undang Dasar 1945,
Menetapkan
:
Pertama
:
Menerima baik dan memperkuat kebijaksanaan Presiden/ Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pimpinan Besar Revolusi/ Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia yang dituangkan
dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letnan Jenderal T.N.I. SOEHARTO.
Menteri Panglima Angkatan Darat dan meningkatkannya menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara;
Kedua
: Ketetapan tersebut pada sub PERTAMA mempunyai daya laku sampai terbentuknya
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum. Waktu Pemilihan Umum
tersebut ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;
Ketiga
: Mempercayakan kepada LETNAN JENDERAL T.N.I. SOEHARTO Menteri Panglima
Angkatan Darat, pemegang Ketetapan tersebut, untuk memikul tanggung jawab
wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuh kebijaksanaan, demi pengamanan
usaha-usaha mencapai tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan
bangsa-bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan
Undang-undang Dasar 194
Ditetapkan
di Jakarta
Pada
tanggal 21 Juni 1966
Majelis Permusayawaratan Rakayat
Sementera Republik Indonesia
Care-taker/ ketua Pelaksana Pimpinan Harian
ttd
(May
Jen. Wilujo Puspo Judo), Wakil Ketua
(Osa
Maliki), Wakil
Ketua
(H.M. Subchan Z.E), Wakil Ketua
Dengan
mudah dapat dikatakan bahwa setelah SUPERSEMAR mendapat baju kehormatan dari
MPRS, maka yang dilaksanakan bukan mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya
Pemerintahan dan Revolusi, melainkan menghancurkan jalannya revolusi dan
akhirnya menggulingkan Bung Karno, menahannya dan melucuti seluruh hak
politiknya, sampai meninggal.
Menurut A. dahlan Ranoewihardjo, SH, dosen Fakultas Hukum
Universitas Nasional Jakarta, dilihat dari segi hukum, Jenderal Soeharto sama
sekali tidak berwenang mengganti pemberi tugas kepadanya (dengan SUPERSEMAR)
yaitu Presiden Soekarno, karena ia hanya penerima tugas (last hebber). Jadi,
TAP MPRS no. IX/ 196 adalah tidak sah. Siapapun akan terheran-heran bahwa Surat
Perintah yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno bisa-bisanya digunakan untuk
menangkap Bung Karno sendiri. Dengan sepotong anak kalimat yang terdapat dalam
SUPERSEMAR butir 1 “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”
Soeharto dengan Orde Barunya berhasil menjungkir-balik tatanan politik dan
kemasyarakatan Indonesia, didukung oleh politik kekuatasaan yang represif, yang
melakukan kekejaman di luar batas prikemanusiaan. Siapa yang menentang, dengan
mudah dicap G30S dan nasib orang yang seperti itu menjadi orang yang vogelvrij
verklaart, siapa saja boleh menembaknya. Inilah rezim dengan kekuasaan
pemerintah yang menakutkan, berjalan 30 tahun, sesudah mana kita disuruh
menjadi saksi tercabik-cabiknya bansa karena pertentangan politik, sosial,
ekonomi dan SARA, yang belum bisa dilerai sampai sekarang.
Dari uraian diatas bisa diketahui bahwa
sejak 1 Oktober 1965 telah terjadi perbuatan melanggar perintah atasan dari
Jenderal Soeharto, dan dilanjutkan dengan membuat rekayasa politik, menggunakan
sarana-sarana hukum konstitusi dengan penafsiran yang semena-mena. Semuanya
hanya menunjukkan rangkaian perbuatan melanggar hukum, menuju kearah coup
d’etat yang lengkap.
Dalam situasi yang sudah sangat sulit
oleh tekanan-tekanan yang makin brutal, Presiden Soekarno pada tanggal 20
Pebruari 1967 membuat pengumuman yang intinya menyerahkan kekuasaan kepada
pengemban SUPERSEMAR, meskipun masih disyaratkan supaya selalu melaporkan
kepada Presiden pelaksanaan penyerahan kekuasan itu. Waktu itu Bung Karno
merasakan kesehatannya makin mundur, ginjalnya berfungsi hanya 25%-50%, dengan
berbagai komplikasi penyakit lainnya, maka beliau menawarkan kepada Soeharto
supaya lebih leluasa melaksanakan keinginannya, Bung karno akan berobat keluar
negeri, tapi ditolak oleh Soeharto. Tentu saja ditolak, karena selanjutnya
ialah menahan Bung Karno sendiri.
Rencana politik menjatuhkan Bung Karno
secara total lewat cara yang dianggap konstitusional, tercapai dalam Sidang
Istimewa MPRS dari tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, yang ditutup dengan
keluarnya TAP no. XXXIII/ MPRS/ 1967, yang memberhentikan dr. Ir. Soekarno
sebagai Presiden dan mencabut semua hak-hak politiknya, dan mengangkat Jenderal
Soeharto sebagai pejabat Presiden. Sejak berlakunya ketetapan tersebut, Mandat
MPRS kepada Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan Negeri yang
diatur dalam UUD 1945, ditarik kembali selanjutnya menetapkan mengangkat
Jenderal Soeharto, pengemban TAP MPRS IX/ 1966 (SUPERSEMAR) sebagai pejabat
Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Inilah
rangkaian pengambilan kekuasaan yang dilakukan dengan penuh kesabaran tapi
terukur, membius rakyat seolah-olah segala sesuatunya berjalan secara benar dan
wajar. Cara inilah yang disebut oleh para peneliti Barat sebagai “Creeping coup
d’etat”. Pengambilan kekuasaan dengan merangkak.
Geoffrey B. Robinson, Boston, USA,
dalam bukunya “Some Arguments Conserning U.S. Influence and complicity in
Indonesia Coup of October, 1, 1956” mengatakna bahwa coup d’etat di Indonesia
dilakukan oleh Angkatan Darat yang disponsori, diorganisasi dan di biayai oleh
A.S buku ini sudah terbit edisi Indonesianya dengan judul “Kudeta Angkatan
Darat”. Ada orang rajin
menghitung, ia mencatat di luar negeri sudah terbit sedikitnya 110 buku dan
tulisan mengenai G30S yang dikerjakan oleh orang-orang non-Indonesia. Di
Indonesia sendiri entahlah berapa buku yang sejenis sudah diterbitkan, karya
orang Indonesia .
Praktisi hukum senior dari Gani Djemat
& Partners di Jakarta, Partono Karnen, SH, ketidak membicarakan masalah
G30S mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang diambil Jenderal Soeharto sejak 1
Oktober 1965 sampai lengsernya 32 tahun kemudian, tidak bisa dikatakan sesuai
dengan hukum, terutama hukum konstitusi. Tindakan-tindakannya melanggar hukum,
dan oleh karena itu segala apa yang dilakukannya termasuk rekayasa politik yang
menggunakan hukum konstitusi sebagai sarananya, adalah tidak sah. Karena
tindakan-tindakannya menyimpang dari isi dan makna SUPERSEMAR, termasuk sidang-sidang
MPRS yang diselenggarakannya, adalah tidak sah. Apabila alur logika ini ditarik
terus secara kosekwen, maka semua tindakan politik yang dikatakan berdasar
hukum diambil Soeharto beserta Orde Barunya, tidak sah pula.
Bahkan kita Partono, SH, lengsernya
Presiden Soeharto yang kemudian diganti oleh Wakil Presiden yang ditunjuknya
sendiri, bukan oleh anggota-anggota MPR dalam sidang MPR, dan dilantik di
Istana, bukan digedung DPR/ MPR, merupakan perselingkuhan dalam menafsirkan
pasal 8 UUD 1945.
Sesudah MPR hasil Pemilihan Umum
1999 tersusun, barulah kita kembali menjalankan hukum konstitusi sesuai dengan
maknanya, kata Parnoto Karnen, SH.
Parnoto memang tidak tegas mengatakan
bahwa Jenderal Soeharto diangkat menjadi Presiden 5 periode berturut-turut, berdasarkan
pemahaman diatas tidak sah, meskipun sudah lewat Pemilu ke Pemilu, tapi mungkin
memang itulah yang dimaksudkannya.
Tapi ada jalan
pintas yang bisa mengurai simpul yang kusut ini, dan boleh dipertimbangkan,
yaitu teorinya Aidit. D.N. Aidit pernah mengatakan kepada saya yang kebetulan
bertemu di Paris, sesudah ia bertemu dan berdiskusi dengan 6 orang tokoh
komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris
ketika terjadi coup d’etat Kolonel Boumedienne terhadap Presiden ben Bella 19
Juni 1965. Diskusi berlangsung di kantor organ Partai Komunis Perancis le
Humanite, yang tentunya juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Partai Komunis
Perancis. Katanya : “Jika satu coup d’etat didukung oleh sedikitnya 30% rakyat,
maka coup d’etat itu bisa bermutasi menjadi revolusi yang didukung oleh rakyat,
maka posisinya berubah menjadi revolusi. Apakah Aidit mengajarkan juga teori
ini kepada Soeharto, entahlah ! Yang jelas, keduanya saling kenal. Jenderal
Soeharto menganggap kupnya terhadap Bung Karno didukung rakkyat meskipun dengan
todongan bayonet. Oleh karena itu, jika tindakannya dianggap coup, maka coup
itupun sah.
Peristiwa yang saya uraikan, rasanya
bukanlah suatu kebanggan. Bahkan kalau kita menerawang jauh ke belakang, akan
tampak begitu banyak orang Indonesia
yang tidak bisa lagi dibanggakan sebagai berperadaban tinggi. Saling bunuh
adalah cirinya yang paling menonjol sampai sekarang. Rasa saling tidak
mempercayai satu dengan yang lain, dipertontonkan secara telanjang. Padahal
suatu bangsa, sebetulnya dibentuk atas dasar saling percaya antara penganut
berbagai ideologi, agama, pemikiran, etnis dan latar belakang sejarah.
Sampai-sampai keinginan Presiden Abdurrahman Wahid hendak mencabut TAP MPRS no.
XXV/ 1966 mengenai larangan Marxisme, serta maksud memanggil kembali dari luar
negeri warga negara Indonesia yang di era Soeharto dicekal tidak boleh kembali
ke Indonesia, menimbulkan reaksi ketakutan luar biasa pada pihak yang tangannya
sudah berlumuran darah karena membunuh 3 juta orang yang dituduh komunis.
Gagasan itu mereka anggap sebagai usaha membangkitkan dendam kesumat kaum
Marxis-Komunis untuk menghancurkan umat Islam dan TNI AD yang dianggap telah
melakukan pembunuhan massal terhadap mereka. (Baca boeklet : Abdul Qadir
Djaelani, 17 kebijaksanaan dan 9 pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang
membawa malapetaka bangsa Indonesia, diterbitkan oleh Komite Kawaspadaan
Nasional Muslimin Indonesia, November 2000).
Lalu teringat, hukum apa yang mereka
pakai untuk membunuh 3 juta orang yang tidak pernah membunuh? Dalam Islam ada
apa yang disebut Hukum Qisos, yaitu hutang jiwa dibayar dengan jiwa. Jadi,
orang yang membunuh boleh dibunuh. Tapi 3 juta yang dibunuh dalam peristiwa
G30S, bukanlah orang-orang yang pernah membunuh. Pembunuhan itupun tidak
terjadi dalam peperangan, karena waktu itu memang tidak ada perang. Pada waktu
itu tidak ada pertolongan Tuhan kepada orang-orang yang dianiaya begitu kejam,
sehingga ada orang yang mengeluh. Tapi kita menganut falsafah Pancasila yang
mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu saja menolak dekrit filosof Jerman
Friedrich Nietzsche (yang atheis) yang pernah mengatakan Gott is tot-Tuhan
telah meninggal.
Rasanya saya sudah mengemukakan
cuplikan kejadian yang diperlukan, berlangsung 32 tahun di era Soeharto.
Ditahun 1966, Bung Karno mengingatkan kepada kita supaya jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah, justru pada saat sejarah kita sedang diobrak-abrik oleh
perluru dan bayonetnya Soeharto. Waktu itulah Soeharto sewaktu hendak membunuh
seekor tikus yang makan sebutir dua butir gabah yang disimpan di lumbung,
menempuh jalan membakar lumbung. Entah apa sebutan yang tepat untuk orang yang
seperti itu.
Makna yang pokok dari peringatan Bung
Karno supaya kita jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, ialah supaya kita
melihat kebelakang dengan pandangan jernih; yaitu sebelum dan sesudah
kemerdekaan dan akan terbukti bahwa persatuan dan kesatuan adalah syarat mutlak
bagi tercapainya cita-cita. Perpecahan hanya membawa kepada keruntuhan.
Terbukti, setelah holocaust 1965/ 1966, muncullah masalah sosial politik yang
panas dan meningkatkan pertentangan. Tentu saja pengalaman sejarah masa silam,
sangat berguna untuk kaca benggala masa depan, karena itu jangan sekali-kali
ditinggalkan. Tapi, kita juga jangan melihat ke masa depan dengan mata buta,
jangan berdiri diatas vacuum atau kekosongan yang menimbulkan kebingungan,
sehingga berubah menjadi bentuk amuk, seperti kera yang terjepit di dalam
kegelapan, kata Bung Karno.
Abraham Lincoln, Presiden A.S yang
ke-16, pernah mengatakan : “one cannot escape history” – seseorang tidak
bisa melepaskan diri dari sejarah, tapi kemudian dipertegas oleh Bung Karno
dengan mengatakan : “never leave history” jangan sekali amuk, untuk membangun national
dignity. Apa yang kita miliki sekarang adalah akumulasi dari semua hasil
perjuangan di masa lampau. Itulah sejarah kita dan jangan sekali-kali dilupakan.
Manado, 10 Februari 2001 AKDP
Manado, 10 Februari 2001 AKDP
*****