Ramalan Jayabaya "perselisihan antarumat beragama"
by mbah subowo bin sukaris
Kerukunan antarumat beragama yang patut dicatat pernah terjadi semasa kerajaan Majapahit antara pemeluk agama Syiwa-Buddha. Dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", begitulah sebutan bagi persatuan dan persamaan di antara perbedaan suatu agama dengan lainnya. Beda agama bukan berarti tidak ada titik temu dalam hal kebajikan dan kebaikan atau berdharma yang baik. Demikian pula di masa sebelum era Majapahit telah terjadi kerukunan antarumat beragama, yakni semasa pemerintahan kerajaan Kahuripan dengan rajanya Airlangga yang diagungkan sebagai titisan Wisynu. Dengan posisinya itu Airlangga tentu saja sangat dihormati oleh umat beragama Syiwa, Buddha masa itu.
Semasa era kejayaan Orde Baru masalah "sara" dapat dieliminir secara otoriter oleh negara. Dengan demikian toleransi antarumat beragama di masa Orde Baru dapat berlangsung relatif mulus, demikian pula mengenai perbedaan suku dan ras mengacu pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" Majapahit. Gejolak itu muncul ke permukaan sejak tumbangnya rejim Orba pada 1998, akibat dari teknologi informasi yang mulai berkembang pesat, dan puncaknya muncul dan selanjutnya mewabah aplikasi jejaring sosial dunia maya.
Jika pada masa lalu itu tidak ada gema suara sumbang yang berani berkicau apalagi tidak seirama dengan melodi pemerintah. Maka kini ledakan dahsyat di segala segi kehidupan sedang dan akan terus terjadi akibat pembungkaman pikiran dan bersuara oleh rejim Orba berlangsung terus-menerus selama lebih dari tiga dekade.
Ledakan demi ledakan muncul berupa perselisihan antarumat beragama, perang atau keributan antarsuku/ kelompok, dan mencuatnya paham rasisme/ perbedaan warna kulit kini tengah terjadi di Nusa Antara dan juga di seluruh dunia. Hukum ekonomi dalam mencari laba oleh sekelompok pengusaha tertentu yang tidak lagi mengindahkan etika, sebagai contoh mutakhir pembuatan atau proyek film mengenai penistaan agama yang berjudul "Innocence of muslims". Contoh mengenai penistaan agama yang senada dengan film "Innocense of Muslims" ialah buku "Satanic Verses" Salman Rushdie.
Demikian pula dalam lingkup skala antarnegara mengenai mengalirnya dana dalam jumlah besar digelontorkan kepada kelompok pembuat onar bayaran oleh donatur yang ingin mendapatkan keuntungan ekonomis maupun politis, dengan modus operandi yang sama mengadu domba dua kelompok dengan memanfaatkan perbedaan "sara". Juga di Nusa Antara ini yang belum lagi terlepas dari gonjang-ganjing di atas, tidak kurang-kurangnya solusi yang digulirkan pemerintah maupun tokoh lintas agama mengatasi hal tersebut, dan sayang sekali belum membuahkan hasil.
Pemerintah orde reformasi tentu saja tidak mungkin menggunakan cara-cara Orde Baru yang otoriter guna mengatasi perselisihan yang timbul akibat perbedaan suku, ras, dan agama. Teknologi informasi yang berkembang pesat di lini aplikasi jejaring sosial dunia maya tidak bisa disensor lagi oleh negara. Jika sensor berlaku maka berlakulah pepatah, "Mati satu tumbuh seribu".
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang digunakan oleh mereka yang saling serang satu sama lain dengan topiknya masing-masing di dunia maya. Etika kerukunan beragama yang sebagian besar masih berlaku di dunia nyata, ternyata tidak begitu berlaku di dunia maya. Sejarah akan terus maju ke masa depan dan tidak mungkin berjalan mundur ke belakang lagi. Era perselisihan antarumat beragama yang marak terjadi di dunia nyata dan juga di dunia maya saat ini telah diprediksi oleh Sri Aji Jayabaya, raja Kediri yang bertakhta pada abad keduabelas masehi sebagai berikut:
Agama akeh sing nantang.
Prikamanungsan saya ilang.
Ora ngendahake hukum Tuhan.
Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka.
Nggedhekake duraka.
Ukum agama dilanggar.
Kelak suatu agama tertentu akan mendapatkan perlawanan dari berbagai jurusan dan terutama berasal dari umat beragama lainnya. Jika telah terjadi perselisihan antarumat beragama akibat perbedaan agama, maka tidak ada lagi sedikit pun rasa perikemanusiaan dalam diri/kelompok kedua belah pihak yang tengah berselisih itu. Mereka yang sebenarnya paham betul mengenai ilmu agama itu, akan tetapi telah kehilangan rasa perikemanusiaan kini tidak lagi mengindahkan hukum Tuhan dalam fatsal amal yang baik akan mendapat balasan baik, demikian sebaliknya perbuatan jahat dengan mengatasnamakan Tuhan kelak akan mendapat balasan setimpal.
Kelak suatu agama akan ditantang oleh terutama umat beragama lainnya hanya dengan satu alasan yakni menganggap dirinya yang paling dekat berada di sisi Tuhan.
Jika kaum beragama saja sudah sebagai itu, lebih-lebih mereka yang pas-pasan dalam menguasai ilmu dan pengetahuan agama, kejahatan dan angkara murka mereka semakin merajalela. Bukannya semakin sadar dan taubat malahan semakin merajalela perbuatan durhaka mereka selama hidup di dunia. Mereka dengan tanpa tedeng aling-aling berani melanggar hukum agama yang cuma sedikit saja pengetahuan yang mereka miliki tentang hal itu.
******