Pembasmian
Seluruh Pimpinan Utama PKI 1948
Suar Suroso
24 September
1948 pasukan pemerintah menduduki dan membersihkan Sarangan. 25 September 1948 pemerintah
melakukan hal yang sama di Tegal. 26 September 1948 Kementerian Pertahanan
mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur termasuk Madura berada di bawah
kontrol pasukan pemerintah. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan
pemerintah. Musso, Amir Sjarifoeddin dan sejumlah tokoh lainnya mundur dari
Madiun ke daerah Dungus, 9 km dari Madiun dan ke Kandengan, 16 km dari Madiun.
(Sin Po 1-10-1948). 28 Oktober 1948 rombongan terakhir sejumlah 1.500
orang “pemberontak” ditangkap. 31 Oktober 1948 di Ponorogo, dalam satu
pertempuran, Musso tertembak mati. 29 November 1948, di desa Penawangan, 19 km
dari Purwodadi, Djokosoejono ditangkap bersama Maroeto Daroesman dan Sardjono.
1 Desember 1948 di desa Klambu, 20 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka, Amir Sjarifoeddin
ditangkap. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, Markas Besar TNI
mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh kaum pemberontak dan ditangkap
sebanyak 35.000 orang.”
Sesudah ditahan beberapa waktu di Yogyakarta, maka Amir Sjarifoeddin dan
kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan di sana . Dalam rapat kabinet pada 18 Desember
1948 dibicarakan tindakan yang akan diambil terhadap pemimpin-pemimpin PKI jika
Belanda mengadakan agresi militernya. Hadir pada waktu itu hanya 12 orang
Menteri. Dalam sidang tersebut, empat orang Menteri menghendaki agar Amir
Sjarifoeddin dan kawan-kawannya ditembak mati; empat orang lagi berpendapat
supaya Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawannya dibebaskan (jangan ditembak); empat
orang lainnya tidak memberikan suara. Kemudian Presiden Sukarno keluar dengan
vetonya, bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak. (Komunikasi
02-1971:26). Akan tetapi, 19 Desember 1948 malam, tatkala Belanda mulai
melancarkan agresi kolonialnya yang kedua, pukul 23:30 telah dijalankan
hukuman mati, atas sebelas tokoh PKI dan FDR dengan ditembak: Amir
Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono,
Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku di desa Ngaliyan,
kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Eksekusi
berlangsung tanpa proses pengadilan.
Dalam pembelaannya di muka Pengadilan Negeri Jakarta pada 24 Februari 1955,
D.N. Aidit memaparkan peristiwa penembakan ini sebagai berikut: “Pada waktu itu
kawan Amir Sjarifoeddin berpakaian piyama putih strip biru, celana hijau
panjang, dan membawa buntelan sarung; kawan Maroeto Daroesman berpakaian jas
coklat dan celana putih panjang; kawan Suripno berbaju kaos dan bersarung;
kawan Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah
kotor; kawan lainnya ialah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi,
Ronomarsono dan D. Mangku.
Sambil menunggu lubang selesai digali, kawan Amir Sjarifoeddin menanyakan
kepada seorang kapten TNI yang ada di situ: Saya mau diapakan?
Jawab kapten itu: Saya tentara, tunduk perintah, disiplin.
Setelah lubang selesai digali, orang-orang yang menggali disuruh pergi dan yang
disuruh tinggal hanya 4 orang yang kemudian ternyata digunakan untuk menguruk
lubang itu kembali.
Kemudian seorang letnan menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer kolonel Gatot
Subroto mengenai pembunuhan atas 11 orang itu.
Bung Amir menanyakan antara lain: apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan-kawan
saya?
Letnan itu menjawab: Saya tinggal tunduk perintah.
Kawan Amir bicara lagi: Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?
Letnan: Tidak usah banyak bicara.
Kawan Djokosujono menyisip: Saya tidak menyalahkan saudara, akan tetapi dengan
ini negara rugi.
Letnan memerintah anak buahnya supaya masing-masing mengisi bedilnya.
Kawan Amir menghampiri si Letnan, sebelum sampai ia terpeleset sedikit, sambil
menepuk badan Letnan ia berkata: Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.
Letnan menjawab: Boleh, tapi cepat-cepat!
Kawan Suripno menyisip: Apa saya boleh mengirimkan surat untuk isteri saya, biar ia tahu.
Letnan: Ya, tidak keberatan.
Kemudian
kawan-kawan menulis surat .
Sesudah selesai, surat-surat itu satu-persatu diserahkan kepada Letnan.
Sesudah surat
diserahkan, bersama-sama 11 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Setelah selesai bernyanyi bung Amir menyerukan: Bersatulah kaum buruh seluruh
dunia! Aku mati untukmu!
Kawan Suripno: Saya bela dengan jiwa saya, aku untukmu!
Kemudian
mulailah kesebelas orang yang gagah-berani itu ditembak satu persatu, dimulai
dengan menembak kawan Amir Sjarifoeddin, kemudian kawan Maroeto Daroesman, Oey
Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya”. (Aidit 1955:31-32).
Harapan Amerika Serikat untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia
terwujud. PKI, yang baru saja bangkit dalam gelora revolusi Agustus 1945,
dengan satu peristiwa, yaitu “Peristiwa Madiun”, telah kehilangan seluruh
pimpinan utamanya. Peristiwa ini bukanlah pelaksanaan program PKI. Tapi
pelaksanaan “the policy of containment” -– politik membendung komunisme -– yang
dilancarkan Amerika Serikat. Amerika berhasil mendapatkan dan menggunakan
kekuatan anti-komunis Indonesia
untuk membasmi kaum komunis Indonesia .
Dengan demikian, PKI telah menjadi korban perdana Perang Dingin di Asia,
jauh mendahului Perang Korea
dan Perang Vietnam ,
yang dikobarkan Amerika demi membendung komunisme.
*****